Sejarah Bendungan Waringin Sapta
Sejarah Bendungan Waringin Sapta
Kerajaan
Mataram Kuno merupakan salah
satu kerajaan Hindu yang ada di Jawa pada abad ke-8, yaitu Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Kerajaan Mataram Kuno ini
bermula
sejak pemerintahan Raja Sanjaya yang mempunyai gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Kerajaan Mataram Kuno diperintahnya
hingga 732M.
Pada abad ke-8 yaitu
awal berdirinya kerajaan Mataram Kuno, kerajaan ini berpusat di Jawa Tengah. Kemudian pada abad ke-10 pusat kerajaan Mataram Kuno
ini pindah ke Jawa Timur. Dan kerajaan ini mempunyai dua latar belakang
keagamaan yang berbeda, yaitu agama Hindu dan Buddha.
Kerajaan
Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa
Sanjaya,
dan Sailendra.
Pendiri dari wangsa Sanjaya ini sendiri adalah Raja Sanjaya, yang menggantikan Raja sebelumnya yaitu
Raja Sanna. Hingga pada akhirnya ketika Raja Sanjaya wafat, kekuasaan kerajaan
Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, yakni pendiri wangsa Sailendra.
Banyak terjadi konflik pada masa kekuasaan Dapunta Sailendra. Hingga akhirnya
pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu
berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran kerajaan Mataram
Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir
dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena
letusan Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah.
Kerajaan
Mataram di Jawa Timur pada abad ke-10, setelah terjadinya bencana alam yang
dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis
harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Mpu Sindok, yakni
cucu dari Sri Maharaja Daksa, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh,
yaitu wilayah antara Gunung Semeru dan Gunung Wilis, Jawa timur. Kerajaan yang
didirikan Mpu Sindok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok
dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Airlangga mulai
memulai ekspedisi-ekspedisinya di Jawa pada tahun 1028-1029 M dengan maksud
menaklukkan kembali kerajaannya yang terbagi antara beberapa pesaing. Dimulai
dengan penyerangan Bhismaprabhawa, yakni seorang putra raja.
Airlangga dalam prasati Pucangan merupakan
menantu dari Darmawangsa Teguh. Berarti dia bukanlah keturunan Mpu Sendok
pendiri Dinasti Isana secara langsung. Hal itu yang membuat raja-raja bawahan
Darmawangsa Teguh yang dulu tidak patuh lagi pada maharaja. Maka sebagian besar
masa pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan menaklukan raja-raja
bawahan. Dalam prasasti pucangan dijelaskan bahwa Airlangga menaklukan beberapa
penyerangan yaitu:
1. Menyerang
ke Wuratan dan mengalahkan raja Wisnu Prrabhawa (pada bulan Phalguna tahun 951
Saka/15 Februari 1030 M).
2. Mengalahkan
Haji Wengker yang bernama Panuda dan menaklukan kerajaannya pada tahun 953
Saka/1031 M, tapi Haji Wengker dapat melarikan diri dan melakukan pemberontakan
pada tahun 957 M. Pemberontakan itu dapat di atasi dan Tahun 959 Saka Haji
Wengker dapat ditangkap di Kapang.
3. Menaklukan
raja Hasin pada tahun 952 Saka (28 April 1030 M) hal ini tertuang dalam
prasasti Pucangan.
4. Pada
tahun 954 Saka (1032 M) Darmawangsa Airlangga menyerang raja Wurawari dan
akhirnya raja Wurawari dapat dikalahkan. Dengan dikalahkannya raja Wurawari
maka lenyaplah perusuh diseluruh tanah Jawa.
Pada tahun 1029,
Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wishnupraba dari Waratan. Lalu pada tahun
1030 ia juga menaklukan Raja Bhismaprabhawa dari Wengker. Akhirnya pada tahun
1032-1033, Airlangga berhasil membalas kematian mertuanya dengan mengalahkan
Raja Wurawari. Dengan demikian Airlangga berhasil mempersatukan kerajaan
warisan Dharmawangsa yang terpecah belah dan sejak itu ia mulai membangun
negerinya. Airlangga mengangkat Narottama sebagai penasehat dan pembantu
kerajaan dan diberi gelar Rakryan Kanuruhan. Ibu kota Medang Kamulan lalu
dipindahkan ke Kahuripan. Airlangga juga memperhatikan kehidupan rakyat agar
makmur dan sejahtera. Usahanya antara lain, membuat bendungan sungai Brantas di
Waringin Sapta. Peristiwa tersebut ditandai dengan pembuatan Prasasti
Kamalagyan. Bendungan ini dibuat karena sungai Brantas sering meluap sehingga
banyak desa-desa di hilir yang kebanjiran. Hal itu membuat rakyat menderita dan
membawa kerugian yang tidak sedikit. Jika banjir terjadi, sawah dan kebun rusak
sehingga hasil panen amat berkurang, akibatnya pajak yang masuk ke kas kerajaan
pun menipis.
Dengan pembuatan
bendungan di Waringin Sapta, aliran Sungai Brantas dapat dikendalikan. Hal itu
bukan hanya membuat irigasi menjadi lebih baik, melainkan lalu lintas di sungai
Brantas pun menjadi lebih ramai. Banyak pedagang dari luar daerah yang dapat
berlayar ke arah pedalaman dan sampai di tempat berlabuh yang bernama Hujung
Galuh. Raja Airlangga membebaskan rakyat sekitar bendungan dari pajak, tetapi
sebagai gantinya mereka harus menjaga bendungan itu. Untuk membangun negara yang
kuat, rakyat harus sejahtera. Untuk itu aliri sawah, jaga rakyat dari bencana
air maupun lumpur. Airlangga mewujudkannya dan mewariskan kepada kita sebagai
kearifan memimpin negara. Setelah bendungan selesai dibuat aliran sungai
dipecah menjadi 3 arah utara. Selain itu raja juga membangun pertapaan atau
tempat suci di gunung Pugawat di daerah Ngimbang dan merupakan desa Turun Hyang
sebagai Sima. Pada masa Airlangga ada seorang pujangga yang berhasil mengubah
kitab Mahabrata menjadi Arjunawiwaha. Pujangga itu bernama Mpu Kanwa (Tahun 939
Saka).
Banjir dalam
prasasti Kamalagyan disebutkan terjadi berkali-kali. Maksudnya adalah banjir
tersebut terjadi setiap tahun atau setiap musim hujan. Didalam prasasti
tertulis bahwa banjir tersebut memusnahkan tempat suci dan wilayah desa
termasuk juga sawah. Dalam artian bahwa banjir tersebut benar-benar besar,
hingga kemungkinan merusak lahan pertanian Jawa Kuna. Disebutkan pula sejumlah
yang mengalam banjir yaitu Kala, Kalagyan, ThaniJhumput, Wihara Cala, kamulan,
dan prapatan. Sumber banjir itu adalah meluapnya Sungai (Bengawan). Sungai
Brantas merupakan salah satu sungai di Jawa Timur yang sistem setiap tahun
menimbulkan ancaman bagi para petani karena selalu meluap pada musim hujan.
Melihat dari
prasasti tersebut, prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada
saat pembangunan Bendungan, yang dibangun untuk menanggulangi banjir. Dalam hal
ini bendungan yang dibangun adalah bendungan di daerah Waringin Sapta aliran
cabang dari sungai bengawan atau sungai Brantas. Pembangunan bendungan
dilakukan unuk menanggulangi banjir yang sering terjadi dan menghancurkan
tanggul yang telah ada, sehingga banyak sawah yang rusak dan sungai tidak dapat
dilewati perahu para pedagang. Faktor penyebab banjir di wilayah Waringin Sapta
disamping hujan yang cukup deras, juga karena peran sungai terhadap material
gunung berapi. Material gunung berapi yang keluar akibat letusan gunung berapi
yang ada disekitar aliran sungai Brantas, (misalnya gunung Wilis, gunung
Welirang, Gunung Kelud, dan gunung Anjasmoro) yang terendap oleh media sungai
Brantas.
Dari prasasti
kamalagyan juga dapat diketahui, bahwa banjir di Waringin Sapta telah sering
ditanggulangi dengan pembuatan bendungan oleh masyarakat sekitar. Namun tidak
juga berhasil diatasi, bendungan yang dibuat ikut hancur diterjang banjir.
Melihat permasalahan yang tidak juga selesai dan sangat merugikan, maka Raja
Airlangga berkenan turun tangan menangani bencana tersebut. Penanganan yang
dilakukan oleh Raja Airlangga adalah pembuatan bendungan untuk memperbaiki
tanggul yang selalu rusak. Pada intinya prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh
Raja Airlangga untuk memperingati pembangunan bendungan di Waringin Sapta.
Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang setiap tahun datang
dan merusak tangguk yang telah ada, serta banyak merusak sawah, bangunan suci
serta mengacaukan perdagangan.
Pembangunan
bendungan ini dapat disimpulkan bahwa
pada masa Jawa Kuna sudah dikenal sistem pengelolaan air. Usaha-usaha untuk
mengelola air, tampaknya menjadi pusat perhatian dari penguasa-penguasa
kerajaan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang
menyebutkan tentang pengelolaan air. Dan dapat diketahui strategi
penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna abad V sampai abad XI Masehi. Adapun
strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan
aliran sungai yang dialirkan ke laut. Air yang melimpah dapat mengalir kelaut
sehingga terhindar dari bahaya banjir.
2. Pembuatan
bendungan. Air sungai yang meluap dapat tertahan oleh bendungan sehingga air
tidak menggenangi sawah maupun pemukiman penduduk. Air sungai tersebut kemudian
dialirkan ke sawah-sawah melalui jaringan irigasi.
Dalam masa Airlangga peperangan demi
peperangan dijalaninya untuk membangun sebuah kerajaan. Satu persatu
kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukannya. Namun pada tahun 1032
Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat
bagai raksasa yang pada akhirnya juga dapat ditaklukannya. Airlangga kemudian
membangun ibu kota baru bernama Kahuripan di daerah Sidoarjo sekarang ini.
Musuh wanita dapat dikalahkan, bahkan kemudian Raja Wurawari pun dapat
dihancurkan pula. Saat itu wilayah kerajaan mencakup hampir sekuruh wilayah
Jawa Timur. Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama
kerajaan yang lazim dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang
sebenarnya Cuma nama ibu kota, lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang
dipimpin Kertanagara. Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha,
berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon Arang.
Pada akhir pemerintahannya,
Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua
putranya. Calon rja yang sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, memilih
menjadi pertapa dari pada naik takhta. Pada akhir November 1042, Airlangga
terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu begian barat bernama Kadiri
beribu kota Daha, diserahkan kepada Sri Samawijaya, serta bagian timur bernama
Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Setelah
turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal
sekitar tahun 1049.
Referensi
Web:
Buku:
1.
Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha
Pengarang: George Coedes
Seri terjemahan arkeologi no.10
Penerbit: KPG KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA
2.
Airlangga Biorafi Raja Pembaru Jawa Abad XI
Pengarang: Ninie Susanti
Penerbit: Komunitas Bambu
3.
Sejarah Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi
Pemuktahiran
Pengarang: Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho
Notosusanto
Penerbit: PT. Balai Pustaka
Komentar
Posting Komentar